PENDIDIKAN KARAKTER

Pendahuluan

                Istilah pendidikan karakter sudah banyak dikupas di berbagai kesempatan, baik secara verbal maupun tulisan, lebih-lebih sejak beberapa tahun terakhir ini. Sebagaimana diketahui, dalam rangka membangun bangsa dan negara ke depan, kementerian pendidikan nasional telah mencanangkan pendidikan karakter sejak tanggal 2 Mei tahun 2010. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter juga diharapkan mampu menjadi fondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kemendiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya. 

Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.  Pendidikan Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang  berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik memiliki karakter yang baik meliputi  kejujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan sehat,  peduli, dan kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi  kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. 

Pendidikan kecakapan hidup (life skills), tentu bukanlah istilah yang baru. Bahkan sebagian besar orang akan menganggap pendidikan kecakapan hidup adalah ‘barang lama’. Memang sudah sejak sekitar tahun 2000-an pemerintah, dalam hal ini  departemen pendidikan nasional, menggulirkan pendidikan kecakapan hidup (PKH) yang kemudian diimplemetasikan mulai dari jenjang SD sampai dengan SMA/SMK. Konsep yang sebenarnya sangat bagus tersebut setengah kandas di tengah jalan. Meskipun para pakar pendidikan terus menggaungkan PKH, namun pada taraf implementasinya, PKH mengalami banyak kendala karena berbagai alasan. 

Tulisan ini sekedar ingin menunjukkan betapa dekatnya kaitan antara pendidikan karakter dan PKH. Artinya, kita seringkali melakukan perubahan-perubahan, yang sebenarnya perubahan tersebut hanyalah ’memoles’ barang lama menjadi barang baru, atau membungkus barang yang sama dengan bahan pembungkus yang berbeda; namun substansinya tetap sama. Munculnya wacana pendidikan karakter akhir-akhir ini sebenarnya merupakan penegasan kembali dari apa yang telah disadari oleh para founding fathers dulu. Sejak awal para Pendiri Negara sudah menyadari betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa, sebab tanpa karakter yang baik, apa yang dicita-citakan dalam pendirian negara ini tidak akan berhasil. Dalam implementasinya, pendidikan karakter ini dinamakan pendidikan budi pekerti, etika, pendidikan kepribadian, dan sebagainya. Sedangkan PKH bila dicermati, juga berkaitan erat dengan bagaimana membangun karakter peserta didik, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk bisa hidup dan bertahan dalam segala situasi kapan dan di mana pun mereka berada. Tanpa karakter yang baik dan tangguh, kemampuan tersebut tidak akan dapat diperoleh. 

Apakah Pendidikan Karakter?

Sebelum menguraikan pengertian pendidikan karakter, perlu disepakati dahulu pengertian karakter. Istilah karakter (Yunani: charakter) berarti ‘tanda-tanda abadi’. Tanda-tanda yang melekat pada diri individu, yang membedakan individu satu dari lainnya. Pengertian karakter dalam hal ini adalah karakter baik, dan membangun karakter berarti membangun sifat-sifat positif, terhormat, dan etika yang baik. Sifat-sifat yang melibatkan aturan berperilaku baik dan mengembangkan kebiasaan baik, yang hanya dapat terjadi melalui suatu praktik yang berulang.

Karakter juga dimaknai sebagai kebaikan atau eksentrisitas seseorang. Sebagian orang menganggap karakter bersifat personal, sementara yang lain memandang lebih bersifat behavioral.Karakter dimaknai sebagai seperangkat karakteristik psikologi individu yang mempengaruhi kemampuan dan menimbulkan dorongan seseorang untuk memfungsikannya secara moral. Secara sederhana karakter terdiri dari sifat-sifat tersebut yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu hal secara benar atau tidak.

Berkowitz (dalam Damon, 2002) mendefinisikan karakter sebagai anatomi moral. Berkowitz meyakini bahwa fungsi moral seseorang dipengaruhi oleh karakteristik psikologisnya. Karakter sebagai anatomi moral adalah komponen psikologi yang membuat seseorang memiliki moral seutuhnya. Dalam anatomi moral tercakup tujuh bagian, yakni perilaku moral, nilai-nilai moral, kepribadian moral, emosi moral, pertimbangan atau pemikiran moral, identitas moral, dan karakteristik dasar.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Secara akademis, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan akhlak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu, muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991). 

Secara praktis, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai kebaikan kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (YME), sesama manusia, lingkungan, maupun nusa dan bangsa, sehingga menjadi manusia paripurna (insan kamil). Pendidikan karakter di sekolah dan perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus (Zuhdi, dkk: 2010).

Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan ‘karakter’ secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Di dalam pembelajaran di kelas, karakter juga diharapkan sebagai salah satu hasil belajar atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa: “pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”. Namun kenyataannya, aspek karakter di dalam pembelajaran seringkali dianaktirikan. Karakter lebih banyak dianggap sebagai efek pengiring (nurturant effects), dan bukan sebagai efek pembelajaran (instructional effect). 

Dari sinilah masalah dimulai. Pengalaman menunjukkan keterampilan proses dan tujuan-tujuan yang bersifat afektif dan perilaku itu tidak muncul, walaupun siswa dinyatakan telah menguasai aspek kognitif dan psikomotoriknya. Penelitian Nur, dkk (1996) menyimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam keterampilan proses sangat rendah. Ditemukan pula pola pembelajaran di sekolah sangat berorientasi pada produk, sehingga kegiatan pembelajaran yang dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan proses tidak dilaksanakan. Penelitian Blazely, dkk (1997) menemukan fenomena yang mirip, sehingga pembelajaran seakan menjadi penumpukan fakta, konsep, dan teori semata.

Berdasarkan kelemahan ini, serta juga didorong oleh kesadaran bahwa begitu pentingnya pembangunan karakter melalui pendidikan, maka dalam rangka program pembangunan karakter bangsa, aspek karakter diharapkan benar-benar menjadi tujuan pembelajaran, sebagaimana aspek lain (kognitif dan psikomotorik). 

Agar aspek karakter benar-benar menjadi instructional effect, maka pembelajaran karakter harus sengaja dirancang. Berbicara tentang perancangan pembelajaran, tentu saja menyangkut bagaimana mengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berbasis karakter. Dalam RPP harus sengaja merancang: 1) karakter apa yang akan dicapai melalui pembelajaran tertentu. Karakter yang dimaksud harus dicantumkan dalam indikator dan tujuan pembelajaran; 2) untuk mencapai karakter yang telah dicantumkan di dalam indikator dan tujuan pembelajaran tersebut, diperlukan pula rancangan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan. Pengalaman belajar apa yang akan dihayati oleh siswa, harus tergambar dalam skenario pembelajaran; dan 3) untuk mengukur apakah proses pembelajaran yang dilakukan untuk memperoleh karakter yang telah dirumuskan telah tercapai atau belum, diperlukan rancangan penilaian/asesmen yang akan digunakan. 

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan–sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat (Bashori, 2010).

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai